Senin, 01 April 2013

ISD SEBAGAI MKDU


Harusnya mensyukuri keadaan bukan melawan kodrat, hal ini di alami Calliope Wong, pria malang ini setidaknya telah mengganti kelamin menjadi seorang wanita, apes ia di tolak mentah-mentah masuk perguruan tinggi di Smith College, Massachusetts.
Beritakan oleh situs online usatoday.com, mengatakan bahwa Smith College merupakan sebuah perguruan tinggi swasta perempuan di Massachusetts, telah menolak Calliope Wong, yang merupakan seorang pelamar transgender karena dokumen bantuan keuangan pemerintah register Wong menyatakan ia berjenis kelamin laki-laki. 
"Smith adalah sebuah perguruan tinggi perempuan, yang berarti bahwa pelamar sarjana untuk Smith harus perempuan pada saat masuk," itu merupakan isi surat penolakan yang ditandatangani oleh Dekan Penerimaan Mahasiswa, Debra Shaver,. serta mengatakan bahwa "Application for Federal Student Aid (FAFSA) Anda menunjukkan jenis kelamin sebagai laki-laki karena itu, Smith tidak dapat memproses aplikasi Anda.." 
Atas penolakan penerimaan transgender wanita di universitas Smith College memicu berbagai protes di media sosial. Grup yang menamakan diri mereka Smith Q&A memposting poster penolakan, bertuliskan "Trans Women belong at Smith" di Facebook. Ratusan orang lain telah berbondong-bondong ke media sosial untuk mendukung Wong. 
Sebagian besar negara, termasuk Connecticut, negara bagian asal Wong, dan Massachusetts, di mana Smith College terletak, meminta bukti dalam bentuk perintah pengadilan atau surat dokter bedah bahwa jenis kelamin individu telah diubah dengan prosedur pembedahan. 
Lembaga Federal, harus membuktikan bahwa mereka memiliki operasi pergantian gender untuk mengubah jenis kelamin untuk jaminan sosial mereka atau paspor. 
Menurut situs Universitas Smith, tubuh mahasiswa termasuk individu yang teridentifikasi sebagai transgender. Halaman ini juga mencatat bahwa "untuk menjadi memenuhi syarat untuk ditinjau, aplikasi siswa dan dokumentasi pendukung (transkrip, rekomendasi, dll) akan mencerminkan statusnya sebagai seorang wanita." 
Dalam posting di blognya, Wong menulis:. "Tetapi untuk secara hukum diakui sebagai 'perempuan' pada akte kelahiran saya menurut hukum Massachusetts dan Connecticut, saya harus menjalani Vaginoplasty (feminisasi operasi kelamin) Dari apa yang saya mengerti, Smith College hanya akan mengevaluasi saya sebagai seorang gadis 'fakta' jika saya mendapatkan operasi pergantian kelamin. " 
Wong menambahkan: "Trans wanita kemungkinan besar tidak siap untuk operasi pada usia 17-18 atau usia khas dari pemohon perguruan Ini adalah keputusan pribadi monumental yang biasanya muncul dari tahun introspeksi dan musyawarah.." 
Wong mengatakan kepada Huffington Post bahwa sementara ini dia tidak berencana untuk mengajukan banding atas keputusan Smith, dia sama sekali tidak menyerah pada penyebabnya.

Konsepsi IBD (Ilmu Budaya Dasar)


Dominasi budaya patriarki ciptakan kesenjangan politik perempuan
Haris Kurniawan
Sabtu,  16 Maret 2013  −  14:02 WIB
Description: Dominasi budaya patriarki ciptakan kesenjangan politik perempuan
Ilustrasi.
Sindonews.com - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mengakui, saat ini masih terjadi kesenjangan gender di berbagai bidang, seperti pendidikan kesehatan dan politik.

"Ketimpangannya masih sangat tinggi," jelas pelaksana harian (plh) Sekretaris Menteri PPPA saat membuka musyawarah nasional (Munas) Korps HMI Wati (Kohati), Mudjiati di Asrama Haji, Pondok Gede, Jakarta Timur, Sabtu (16/3/2013).

Dia mengatakan berdasarkan laporan pembangunan manusia berbasis
 gender yang dilaksanakan oleh Kemen PPPA dengan Badan Pusat Statistik (BPS), rendahnya keterwakilan perempuan dalam bidang politik, tidak sebabkan faktor pendidikan saja. 

Adanya budaya patriarki yang masih sangat dominan juga turut andil terjadinya kesenjangan tersebut. "Bahkan banyak para pembuat kebijakan yang kurang mengerti esensi kesetaraan
 gender itu apa. Jika dasarnya saja tidak tahu, bagaimana akan membuat rencana dan kebijakan," terangnya.

Dia menyebutkan , tingginya angka buta huruf perempuan usia 15 tahun ke atas yang lebih besar yakni 9,48 persen dibandingkan laki-laki hanya 4,3 persen, menunjukan bukti rendahnya pendidikan kaum perempuan di negeri ini.

"Dengan angka tersebut, tidak mengherankan apabila sebagian besar tenaga kerja kita adalah tenaga kerja informal yang rawan kekerasan dan pelanggaran HAM, termasuk trafficking," tukasnya.

Maka itu, pihaknya di Kementerian PPPA menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam pembangunan nasional.

"Langkah-langkah percepatan ini penting dirumuskan agar bisa menjawab tantangan pembangunan milenium 2015," tandasnya.

Manusia dan kebudayaan


Budaya Tanding yang Bisa Meramal

Senin, 1 April 2013 | 00:47 WIB
ARDUS M SAWEGA
Suasana Pameran Seni Rupa Wayang Beber, Antara Inspirasi dan Transformasi, di Balai Soedjatmoko Solo, 25 Maret-1 April 2013. Dua lukisan memanjang di atas, "Pesugiha" dan "Satria Sejati", adalah karya Indiria Maharsi
Wayang beber yang kuna bisa menjadi wahana kritik sosial yang aktual dan menyengat. Di tangan pelukis Nasirun, lewat karyanya ”Rebutan Kursi Tanpa Isi”—plesetan dari frase Jawa ”rebutan balung (tulang) tanpa isi”, perilaku masyarakat sekarang ini, terutama di elite politik kita, cenderung lupa diri. Saling berebut dan haus kekuasaan, tetapi abai akan amanahnya, dan tega mengorbankan orang lain secara keji.
Karya tunggal Nasirun dalam Pameran Seni Rupa Wayang Beber di Balai Soedjatmoko Solo, 25 Maret-1April 2013, itu seakan ”ramalan” akan masa depan. Di bagian tengah lukisan bergaya abstrak figuratif yang mengambil stilisasi wayang dengan dominasi warna merah ini; sesosok raja raksasa tampak murka lantaran seluruh tubuhnya terjilat oleh kobaran api. Seorang perempuan cantik–entah siapa–justru menyeret kursi singgasana yang terbakar ke arahnya.
Mengacu ilmu othak-athik-gathuk (logika orang Jawa), tak luput kalau orang mengaitkannya dengan kebakaran yang melalap gedung Sekretariat Negara di lingkungan Istana Negara, 21 Maret 2013. Nasirun menciptakan karyanya itu beberapa hari sebelum peristiwa. Di depan raksasa berwarna biru tadi para punggawa yang tampak panik menghadang serbuan warga bersenjata; mereka disangka mau menjungkalkan sang penguasa. Di ujung sana, Sengkuni ikut memprovokasi. Dari sini, orang pun bebas berasosiasi.